Kingdom Hearts - Help Select
Subscribe:

Senin, 08 Agustus 2011

Kulampirkan Rindu dalam Suratku Untuk Mu Sahabat UP 09 Yang Tinggal Di Kota Malang..

Sinta. Mengenang nama ini membuatku larut dalam renungan yang baru dapat buyar ketika kantuk menjelang kala malam. Bila mengingatnya, rasanya segenap napas yang kuhirup dan hembuskan adalah rindu semata baginya. Itu karena hatinya yang lembut, tangannya yang rajin dan tatapannya yang teduh. Banyak gadis yang pernah melintas di hidupku, namun Sinta... Sinta berbeda.
Di atas kereta Gajayana jurusan Jakarta-Malang ini aku mengenangnya lagi. Semalaman aku tak bisa tidur karena merindunya. Ya, Sinta itu ngangeni banget. Aku telah lelah, tapi kantuk tak tiba-tiba.
***
Aku menjumpainya pertama kali ketika ia sedang naik angkutan umum menuju kota Batu. Ia bersama seorang anak lelaki kecil yang usianya kira-kira delapan tahun. Bocah itu lucu sekali. Ia mengenakan topi biru, wajahnya polos dan matanya bulat. Ia terlihat selalu melempar senyum tipis bagi setiap orang yang memandangnya – terlihat penuh sukacita. Sedangkan Sinta, ia tampak anggun. Rambutnya panjang sepunggung, matanya indah memancarkan teduh. Tatapannya lembut. “Apakah mereka berdua bersaudara?” batinku dalam hati. Mereka duduk berdampingan.
Bocah itu mencopot topinya. Raut wajahnya berubah, ia terlihat lemah. Memang, perjalanan menuju ke kota Batu dari Malang cukup lama. Biasanya 45 menit, bahkan satu jam bila macet. Untung saja kedua kota ini tak terlalu panas, jadi perjalanan tak menggerahkan.
Topi bocah itu terlempar ke arahku ketika angkutan yang kami tumpangi menyelip sebuah mobil dengan cepat. Topi itu terlempar ke arahku karena kursi angkutan disusun berhadapan. Aku memegang topi itu dan mengembalikannya. Sinta meminta maaf.
“Ah, nggak apa-apa, Mbak,” sahutku.
Sinta mengangguk tenang.
“Namanya siapa, Dik?” kataku membuka percakapan.
“Hayo, ditanya Mas-nya tuh, namanya siapa. Ayo, kenalan,” kata Sinta sambil memegang tangan kanan bocah yang dibawanya, lalu mengulurkannya kepadaku.
“Saya Andi, Mas,” katanya bersahabat.
“Saya Tino.” Kujabat tangannya.
“Oh, yang pandai melukis itu ya?” tanya Sinta dengan senyum melebar.
“Ah, nggak, Mbak. Itu ‘kan Pak Tino Sidin.”
“He-eh, saya tahu. Bercanda kok. Jangan marah ya.”  
Aku mengangguk. Kami lalu diam semenit.
“Oya, Mbak namanya siapa?”
“Saya Sinta,” sahutnya sambil mengulurkan tangan.
“Saya Tino,” sahutku sambil menjabat tangannya.
“Sudah tahu, kok. Tadi ‘kan sudah disebutkan.”
Kami melepaskan jabatan tangan kami.
“Iya, ya. Mm, mungkin, kamu mau tahu nama lengkap saya?”
“Hehehe… untuk apa?”
“Mm, mungkin supaya kamu bisa tahu apa yang belum kamu tahu,” kataku sekenanya.
“Boleh juga,” sahutnya sambil memutarkan bola matanya.
“Tino Pacino.”
“Wah, kaya’ namanya minuman Italia. Apa tuh namanya?” katanya sambil menaikkan kedua bola matanya dan mengernyitkan dahi, mencoba mengingat-ingat sesuatu.
“Cappucino!” tukasku.
“Yap, betul!” sahutnya riang.
“Ceritanya tuh dulu Papaku suka nonton film Godfather yang dibintangi Al Pacino. Jadi aku dinamakan begitu. Aku bukan orang Italia.”
“Oh, gitu,” katanya sambil manggut-manggut.
Kami lalu diam. Aku mengira-ngira perjalanan ke terminal Batu akan sampai 15 menit lagi. Hawa mendingin. Andi tertidur. Pundak Sinta menjadi sandarannya. Ia terlihat nyaman, tidur pun tersenyum.
“Kalau nama lengkapmu siapa?” tanyaku pada Sinta.
“Oh,” sahutnya setengah terkejut. Ia sedang menepuk-nepuk pundak Andi ketika kutanyai.
“Kelihatannya ia lelah sekali,” kataku memandangi Andi.
“Iya, Mas. Dia lelah. Dan, dia kasihan…,” sahut Sinta pelan, lalu memandangi Andi.
Aku merasa ada yang berubah. Dari ucapannya, ada kesedihan tersirat.
“Ada apa dengannya?” tanyaku pelan, meyelidik.
Sinta menatapiku. Ia tampak ragu menjawab. “Maaf, itu bukan urusanku.” kataku singkat.
Sinta diam.
Aku mengalihkan pandanganku ke jalan yang sudah dilewati. Hujan pelan-pelan turun. Karena kian deras, angkutan berjalan lambat. Kaca mobil diliputi embun, aku kembali menatapi Sinta. Aku melihatnya dengan lembut menepuk-nepuk pundak Andi. Karena sadar kutatapi, Sinta lalu menatapiku juga. Kami bersitatap.
“Mas, Andi baru saja kehilangan ayahnya,” jelas Sinta.
“Oh, aku ikut prihatin,” sahutku lembut.
Karena aku mungkin memberi perhatian kepadanya dan bertanya sebabnya, Sinta lalu bercerita bahwa Andi baru ditinggal ayahnya yang sakit kanker. Ibu Andi jadi TKW di luar negeri. Andi adalah keponakan Sinta. Sinta adalah adik bungsu ayah Andi. Dan kini, mereka berdua sedang menuju ke panti asuhan di Batu untuk menitipkan Andi di sana. Sinta juga tinggal di sana. Ia tak berayah, ibunya masih ada. Ia masih SMU kelas 2. Selain bersekolah, ia juga membantu menyiapkan makanan untuk anak-anak panti yang lain.
Mendengar kisah ini, hatiku seperti didesiri angin dingin. Kutarik dan hembuskan napas panjang, lalu kupandangi Sinta dengan tatapan bangga.
Terminal Batu sampai ketika kisah Sinta usai. Hujan masih turun. Aku berpisah dengan Sinta dan keponakannya. Kusalami mereka. Sinta memberiku alamat dan nomor telepon panti asuhannya. Langkah demi langkahnya kala meninggalkan terminal, kuamati. Ia rangkul pundak Andi dengan erat, juga memayunginya dengan payung kecil yang dibawanya. Ketika ia sudah meninggalkanku sejauh kira-kira 50 meter, ia menoleh ke arahku. Ia menatapiku di kejauhan. Beberapa saat kemudian, ia berbalik dan menghampiriku. Aku kaget.
“Ada apa?” tanyaku ketika ia sampai di depanku.
“Namaku Sinta Florina. Tadi kau ‘kan menanyakannya, Pacino!” sahutnya setengah berteriak dan tersenyum.
Aku manggut-manggut. “Hebat juga ingatannya,” pujiku dalam hati.
“Kau pendengar yang baik. Aku suka bicara denganmu,” katanya sambil pergi meninggalkanku.
“Hati-hati. Kelak kau kutelepon,” kataku.
Kala mereka tak tampak, hujan mereda.
Perjalanan ini berarti bagiku. Sinta dan Andi tak tahu bahwa inilah kali terakhir aku mengunjungi kota Batu. Aku belum sempat menjelaskannya, dan ia sudah pergi. Ah, sayang sekali. Tapi untunglah, alamat dan nomor telepon Sinta sudah kukantongi. Itu cukup.
Malam harinya, aku menelepon Sinta. Ia ada.
“Hai, Sinta, kamu lagi apa?”
“Aku baru saja selesai makan.”
“Wah, kamu yang masak, ya? Pasti enak nih.”
“Ya, aku yang masak. Ya, jelas donk.”
Lalu, aku ceritakan kepadanya kalau tiga hari lagi aku akan meneruskan kuliah di Universitas Pancasila, Jakarta. Dua hari ini aku habiskan untuk mengambil gambar, menulis puisi dan catatan-catatan kenangan di Batu. Aku sering ke Batu karena ketenangan yang diberikannya. Dan, aku juga punya sahabat di kota ini yang rumahnya kujadikan tempat bermalam jika aku hendak menulis atau mencari ketenangan. Sinta diam beberapa saat. Pembicaraan kami malam itu, di bagian akhirnya sangat sunyi. Kami masing-masing diam. Mungkin, kami sama-sama sedih.
“Selamat jalan. Hati-hati,” kata Sinta menutup pembicaraan.
“Aku akan menulis surat buatmu. Kamu suka membaca dan berkirim surat?”
“Suka sekali,” katanya singkat. “Kutunggu.”
***
Kereta tiba di Malang. Ah, senang rasanya! Di Malang aku bisa bernapas lebih bebas. Dan, Sinta! Ada Sinta yang selama ini surat-suratan denganku. Di kereta aku sudah tak sabar menunggu bertemu dengannya. Aku membawa oleh-oleh buatnya dan Andi.
Tibalah hari itu di mana aku pergi ke panti asuhan Sinta. Wah, rasanya senang sekali bertemu dengannya lagi! Ia tampak lebih dewasa dan lebih cantik. Kami bercerita tentang surat-surat kami. Kami bercerita tentang kisah-kisah yang kami alami sendiri-sendiri.
Aku berjalan-jalan di panti asuhan itu bersama Sinta dan Andi. Tangan kiriku menggandeng tangan kanan Andi, tangan kanan Sinta menggandeng tangan kirinya. Sesekali kami menarik kedua tangan Andi ke atas dan membuatnya bergelantungan sesaat. Ia memekik-mekik kecil, bahagia. Kami sangat senang. Suasana di sana juga menyenangkan, penuh bunga warna-warni di sana-sini.
Tiga minggu aku di Malang dan hampir setiap hari aku ke panti asuhan Sinta. Aku kian mengenalnya. Dan, jujur saja, aku menyukainya. Hatinya yang lembut, tangannya yang terampil dan kesederhanaannya telah memikatku dengan hebat. Ia juga pintar di sekolah. Ia naik kelas 3 dan masuk sepuluh besar. Ia juga menyatakan kagum denganku. Ia suka membaca kisah-kisahku. Ia menyatakan bahwa aku tukang foto dan penulis yang bagus.
Waktu berlalu, aku harus kembali ke Jakarta. Perpisahan itu cukup berat. Namun, aku telah berjanji selalu mengiriminya surat. Di dalam perjalanan kereta yang membawaku kembali ke Jakarta, aku merenungi Sinta. Dalam hati kutahu, ia merenungiku pula. Tatapannya padaku kala bersamanya hari demi hari telah menyiratkan kepadaku sesuatu: ia tampak terkesan denganku. “There’s something in the way you look at me,” batinku sambil tersenyum, menirukan sebuah lagu.
Kala menatapi pemandangan dari balik jendela kereta menjelang malam, aku melihat bunga-bunga. Dan, tiba-tiba aku teringat nama lanjutannya: Florina! Ya, Florina, yang berarti: “bunga-bunga yang sedang bermekaran”. Bukankah arti nama itu indah? Aku juga teringat kota Batu dan panti asuhannya, yang dipenuhi bunga-bunga. Bersama kereta yang melaju, aku menulis sebuah puisi sederhana untuk Sinta, bungaku, yang bayang wajahnya kini mencengkeram benak dan otakku.

ada bunga-bunga bermekaran di jalan-jalan kenangan

merindu ditatap dengan kasih, damai dan harapan
mereka hening dalam sejuk yang dihadirkan malam

mereka menari bersama angin yang mendesiri kelam

mengenangmu memang bagai mengenang bunga-bunga
mengenangmu adalah catatan kangen yang indah membiru
kini aku pergi lagi diantar malam yang diarungi kereta
satu janjiku: akan selalu terlampir rindu dalam suratku
            Aku terlelap di kereta. Sebuah mimpi datang padaku saat itu. Tampak padaku walau di kejauhan, Sinta sedang menciumi bunga-bunga di sebuah padang indah yang sepertinya pernah kukunjungi, tapi entah di mana, aku lupa. Ia mengenakan gaun putih yang anggun. Ia berjalan, berjalan dan berjalan, lalu duduk pada sebuah bangku di sudut padang yang dirindangi beberapa pohon besar. Lalu, entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja ada surat yang dibacanya. Dan, ia membaca surat itu dengan senyum yang indah. Aku pun ikut tersenyum.

Mengenang...waktu di kota malang...hehehe
== TAMAT ==


0 komentar:

Posting Komentar